Konflik antara buruh dan pengusaha menjadi hal yang tidak
bisa dihindari menjelang tutup tahun. Keduanya riuh menghitung besaran upah
minimum.
Para pekerja berjuang ada kenaikan signifikan untuk
mengimbangi lonjakan harga kebutuhan pokok. Sedangkan pengusaha berusaha
sebaliknya. Dua kepentingan yang sulit dipertemukan itu mewarnai konflik
keduanya.
Masalah pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak sampai tidak
dibayarkannya tunjangan hari raya (THR) melengkapi konflik buruh versus pengusaha. Pemerintah sendiri
mengambil peran sebagai wasit yang tidak pernah dianggap benar-benar adil.
Di pengujung Oktober 2013, menjelang penetapan upah di tahun
2014, buruh menumpahkan perjuangan mereka dengan
menggelar mogok serentak di seluruh kota/kabupaten di Tanah Air.
Selain menolak Inpres 9/2013 tentang Kebijakan Penetapan Upah
Minimum, para buruh juga mengajukan perubahan kriteria
kebutuhan hidup layak (KHL) dari 60 menjadi 84 komponen.
Dengan kriteria itu, para buruh menuntut upah minimum provinsi (UMP)
DKI Jakarta pada 2014 dinaikkan dari Rp 2,2 juta menjadi Rp 3,7 juta. Untuk
Jateng dan Jatim sama,buruh meminta
Rp 3 juta per bulan.
Di beberapa kota yang menjadi kantong industri di Jatim,
misalnya Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, Gresik, dan Mojokerto, upah minimum yang
diterima buruh dirasakan selalu kurang.
Perjuangan
buruh di Indonesia selama ini menginginkan agar buruh memiliki kekuatan
tawar (Bargainning) yang sejajar dengan pengusaha dan
pemerintah dalam melaksanakan hubungan penentuan kebijakan terutama hal-hal
yang terkait dengan nasib buruh itu sendiri. Para buruh pun sadar untuk
memiliki kekuatan posisi tawar harus melakukan pergerakan-pergerakan untuk
melawan kebijakan yang dianggap sangat merugikan buruh. Organisasi
buruh dinilai sudah waktunya menjadi kekuatan politik di Indonesia. Bahkan,
organisasi politik ini bakal menjadi kekuatan politik utama di Indonesia masa
depan. Organisasi buruh yang ideologis akan mampu memperjuangkan kepentingan
hak-hak buruh, tidak hanya soal normatif semata. Seperti hak-hak pekerja,
jaminan sosial dan lainnya. Lebih dari itu, jika organisasi buruh menjadi
partai politik baru, maka bisa mewarnai kebijakan yang lahir dari negara
terkait perbaikan nasib hidup buruh dan masyarakat secara luas.
Konflik atau perbedaan pandangan adalah hal biasa.
Konflik dapat terjadi di manapun dan menimpa siapapun yang memiliki
kepentingan. Di serikat buruh konflik bahkan tak dapat dipisahkan dari
keseharian kerja organisasi buruh ini. Permasalahan selalu muncul dan kerap
kali tercampur antara yang organisasional dengan yang personal.Tentu hal ini
pun berlaku di banyak organisasi atau kelompok kepentingan lain. Beberapa
literatur menyebutkan bahwa faktor-faktor pendorong terjadinya konflik antara
lain adanya perbedaan pendapat dan pandangan, perbedaan tujuan, ketidaksesuaian
cara pencapaian tujuan, ketidakcocokan perilaku, pemberian pengaruh negatif
dari pihak lain pada apa yang akan dicapai oleh pihak lainnya, persaingan,
kurangnya kerja sama, dll. Para ahli juga memberikan pentahapan konflik secara
berbeda, dikaitkan dengan isu yang dibicarakan. Stepen P Robins (2001),
misalnya, memberi tahapan sebagai berikut: oposisi dan ketidakcocokan
potensial, kognisi dan personalisasi, maksud, perilaku serta hasil. Sedangkan
Kartikasari (2001) memberi tahapan: prakonflik, konfrontasi, krisis, akibat,
dan pasca-konflik.
Pekerja sebagai
salah satu unsur utama dari produksi, pengusaha sebagai pemilik modal,
pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan pengawasan terhadap perarutan perundang
- undangan Ketenagakerjaan, hubungan ketiga unsur inilah yang
disebut Hubungan Industrial yang berazaskan Pancasila. Oleh
karena itu azas musyawarah mufakat seyogyanya dikedepankan apabila terjadi
perselisihan anatara pekerja dan pengusaha. Konsep hubungan hubungan industrial
diharapkan mampu mewujudkan hubungan yang dinamis, harmonis dan berkeadilan.
Hambatan dan tantangan ketenagakerjaan pada era reformasi diantaranya angkatan
kerja tidak sebanding dengan lapangan pekerjaan yang tersedia, pengusaha kurang
mau memahami makna hubungan industrial serta rendahnya hukuman pelanggaran yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang berlaku disatu
pihak, kurangnya keterampilam pekerja dan sikap yang arogan dipihak lain,
oleh karena itu sering terjadi perselisihan hak bahkan konflik sosial, bahkan
pemerintah pun sebagai salah satu dari unsur hubungan industrial kadang lebih
condong kepada salah satu pihak, yang sewajarnya posisi pemerintah harus
menjadi mediasi, fasilitator antara pihak buruh dan pengusaha yang bertikati,
sehingga tidak jarang di temukan suara baik dari buruh atau dari pengusaha
adanya upaya tangan-tangan jahil yang melakukan pemerasan, penekanan terhadap
pengusaha juga, padahal pengusaha ingin memenuhi apa yang menjadi tuntutan
buruh. Pengusaha harus menyiapkan anggaran untuk sektor tangan jahil tersebut,
dengan jumlah yang tidak sedikit.
That’s real, sekarang itulah yang terjadi. Ketika
suatu tuntutan menekan ego masing-masing. Yeah, semua orang memiliki kebutuhan.
Di tambah pula dengan perkembangan zaman yang semakin maju, pasti akan semakin
kompleks jika kita terlena dengan keadaan yang sudah bisa dikatakan rumit. Mau dibawa kemana negara ini?.. We need
solution!!!..
Kawan, kitalah yang sebenarnya menjai penentu
bagaimana arah negara ini ke depan. Pembenahan karakter diri harus mulai kita
sadari ke arah yang lebih baik, jangan biarkan kita asik dengan ke modernan
yang sebenarnya adalah bumerang jika kita tidak bisa menempatkan diri. Ingat,
zaman semakin maju, teknologi semakin berkembang, mari kita buktikan kita
adalah awal dari perubahan yang lebih baik. Bismillah.. J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar